Penulis: Ben Goldacre.
Tanggal rilis: September 2008.
Jumlah halaman: 338 halaman.
Ben Goldacre adalah seorang psikiatris dan kolumnis di The Guardian. Di buku ini, Ben mengkritisi media, perusahaan, atau beberapa orang yang melakukan overklaim terhadap sejumlah produk kesehatan dan gaya hidup sehat dengan menggunakan kalimat dan cerita yang terdengar saintifik. Padahal, informasi tersebut dipaparkan oleh mereka yang tidak kapabel dalam membaca dan menerjemahkan sejumlah fenomena medis dan bukti ilmiah. Hal-hal overklaim ini akrab dikenal dengan pseudosains.
Ben menganggap bahwa pseudosains tidak sepenuhnya salah. Justru pseudosains memicu munculnya sejumlah pertanyaan ilmiah untuk lebih memahami dasar ilmu pengetahuan. Ingat, ilmu pengetahuan tidak hanya terlahir dari ketidaksetujuan terhadap suatu teori, tetapi juga kurangnya wawasan saintifik di kalangan publik seperti selebritis, influencer, pemasaran produk, dan jurnalis.
Detoksifikasi
Ben memulai buku ini dengan mengkritik detoksifikasi, istilah fancy yang sangat akrab didengar para penggila gaya hidup sehat dan menjadi sorotan media terkemuka.
Terapi Detoks Ion
Pernah mendengar salah satu metode detoksifikasi dengan merendam kaki di dalam air garam yang dialiri listrik berarus dan bertegangan rendah seperti gambar di atas? Konon ionising unit mampu menyesuaikan bioenergetic air dan merangsang tubuh untuk mengeluarkan toksin yang ada di dalam tubuh. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan warna air menjadi cokelat hingga cokelat kehitaman seiiring pelepasan toksin dari dalam tubuh.
Dari “mitos” detoks tersebut, Ben Goldacre mengajukan set up eksperimen untuk menguji kebenaran pelepasan toksin dari dalam tubuh. Eksperimen ini tidak menggunakan kaki kita, melainkan menggunakan boneka Barbie.
Walaupun subjek ujinya adalah boneka Barbie, air tetap mengalami perubahan warna menjadi kecokelatan. Nah lho, boneka Barbie kan gak makan dan gak terpapar polusi, kok ada toksinnya? Ternyata, peristiwa perubahan warna pada air disebabkan adanya proses elektrolisis (karat pada elektroda terlarut dalam air). Garam (NaCl) pada air mengandung muatan negatif dari Cl- dan muatan positif dari Na+. Konektor merah pada baterai mobil yang digunakan dalam pengujian ini adalah elektroda positif yang mengambil muatan negatif dari Cl- sehingga menghasilkan gas bebas klorin. Jadi ya sebenarnya yang menunjukkan reaksi perubahan di air adalah gas klorin dan karat pada elektrolisis tersebut. Bukan dari pelepasan toksin dalam tubuh yang berasal dari makanan yang selama ini kita makan ataupun paparan polusi.
Lalu, sebenarnya apa sih toksin yang diklaim diserap oleh produk-produk dengan klaim detoksifikasi? Sebagian besar produsen dan sales menyalahkan junk food yang kita makan, polusi, dan stress. Sayangnya, tidak ada satupun yang benar-benar menyebutkan secara spesifik senyawa kimia yang dilepaskan selama proses detoks.
Ben Goldacre berasumsi kreatinin dan urea sebagai senyawa yang paling mungkin menjadi toksin yang ditarik oleh produk detoks karena tubuh paling banyak membuang kedua senyawa tersebut dalam proses metabolisme. Untuk mengujinya, Ben pun mengambil sampel air dari proses detoksifikasi dan dibawa ke lab. Hasilnya? Tentu saja tidak ada urea, kreatinin, atau senyawa toksin lain yang terdeteksi melainkan senyawa hasil karatan dari proses elektrolisis.
Detox Patches untuk Kaki
Untuk yang beberapa tahun belakangan ini mengikuti akun instagram jastip suatu negara, pasti ngeh deh ketika baca judul ini. Patches yang tampak seperti kantong teh ini ditempelkan di telapak kaki sebelum tidur. Saat bangun tidur keesokan harinya, patch tersebut akan memiliki bau tidak sedap dan tampak menjadi kecoklatan. Bau dan perubahan warna pada patch ini diklaim merupakan ‘toksin’ yang dikeluarkan oleh tubuh. Sayangnya, klaim tersebut tidaklah berdasar dan tidak masuk akal. Penjelasannya?
Ben Goldacre membedah komposisi patch ini. Pertama, ada pyroligenous acid, yaitu serbuk coklat yang bersifat higroskopis (mudah menyerap air). Bahan ini akan sangat mudah menyerap kelembaban yang ada di sekitar patch dan memicu perubahan warna coklat. Jadi, masuk akal ya perubahan warna pada patch yang ditempelkan di kaki asalnya ya dari bahan ini.
Komposisi lainnya adalah hydrolysed carbohydrate. Apa itu? Karbohidrat merupakan kumpulan molekul gula dalam rantai panjang. Di dalam tubuh, karbohidrat akan dipecah melalu proses hidrolisis menjadi molekul gula sederhana sehinga bisa diserap tubuh. Jadi, sederhanaya hydrolised carbohydrate adalah ‘gula’. tentunya gula ini akan lengket jika terkena keringat.
Kombinasi kedua bahan di atas dikombinasikan dengan kondisi lembab di sekitar kaki dan kelembaban ruangan tentu akan memicu perubahan warna pada patch. Tanpa penyerapan toksin.
Terapi Ear Candle
Sama halnya dengan detoksifikasi ion, produk dengan klaim detoksifikasi menggunakan lilin aromaterapi ini juga dibesar-besarkan oleh media. Secara singkat, klaim mekanisme detoksifikasi dengan lilin pada telinga adalah proses penguapan kandungan pada lilin → konveksi udara ke telinga → memicu proses penghisapan yang memberikan sensasi pijatan pada gendang telinga dan auditory canal. Saat lilin diletakkan di telinga dan “menyegel” kotoran yang ada dalam telinga sehingga dapat dikeluarkan. Hal ini ditunjukkan oleh keluarnya kotoran telinga yang berwarna jingga saat lilin dikeluarkan.
Ben Goldacre mengajak pembaca untuk berlogika: coba deh letakkan lilin yang sama di dekat daerah yang berdebu, maka kecil kemungkinan kita akan menyaksikan fenomena penarikan debu oleh lilin tersebut. Sebuah studi yang diterbitkan oleh jurnal Laryngoscope turut mematahkan mitos terapi ear candle ini dengan menggunakan tympanometry dan tidak menemukan terjadinya proses penghisapan kotoran telinga dengan menggunakan lilin.
So, stop ear candle doesn’t work! It only hurts your precious ears!
Detoks = Strategi Marketing
Ben Goldacre percaya bahwa detoksifikasi bukanlah bagian dari sains, melainkan fenomena yang digunakan oleh pemasaran, ‘ahli’ gaya hidup, dan pengobatan alternatif. Dari sudut pandang biokimia, detoks merupakan konsep yang tidak bermakna. Mengkonsumsi makanan junk food atau minuman berkarbonasi memang tidak baik bagi tubuh, tetapi tidak meninggalkan residu spesifik yang bisa diserap oleh proses khusus yang disebut detoks. Istilah detoks merupakan penemuan dalam pemasaran produk.
Proses metabolisme tubuh melibatkan banyak molekul dan proses yang rumit. Mengandalkan produk dengan klaim mampu mengeluarkan racun dengan proses sederhana bernama detoksifikasi merupakan penemuan pseudoscientific yang mencampurkan common sense dan fantasi di dunia medis.
Tidak ada yang salah dengan mengonsumsi makanan bergizi dan menjalani gaya hidup sehat. Tetapi, detoks bukanlah tentang itu. Detoks yang menjadi perdebatan adalah proses instan untuk mengembalikan kebugaran tubuh. Sedangkan gaya hidup tidak sehat memiliki dampak jangka panjang pada tubuh dan memerlukan komitmen seumur hidup untuk memastikan tubuh kembali bugar. Walaupun demikian, Ben Goldacre tidak akan mengkritik mereka yang menjalani proses detoksifikasi dengan makan sayur rutin selama 5 hari. Setidaknya, orang-orang tersebut belajar merasakan gaya hidup sehat yang sebenarnya dibutuhkan tubuh.
Proses detoksifikasi yang dikritik Ben adalah percaya bahwa penggunaan patch atau merendam kaki di air garam merupakan proses berbasis sains. Berbagai kepercayaan dan budaya memiliki ritual seperti berpuasa, mengubah asupan makanan, mandi atau intervensi gaya hidup lainnya. Namun, hal itu tidak merepresentasikan sains karena hal tersebut datang sebelum sains dikenal. Ramadan dalam Islam, Yom Kipppur dalam Judaism, dan ritual sejenis lainnya dalam Kristen, Hindu, dan Buddha adalah tentang pantangan dan pensucian. Tentu seiring berjalannya waktu, sains membutikankebiasaan tersebut berefek baik dengan didasarkan pembuktian ilmiah.
Senam Otak
Ini nih fenomena pseduosains yang paling sering ditemukan ketika seminar, kelas, atau bahkan sekedar bahan bercandaan di tongkrongan. Jari di tangan kanan dan jari di tangan kiri digerakkan ke arah berlawanan. Atau meletakkan tangan kiri di kepala diputar searah jarum jam dan tangan kanan di perut dengan gerakan berlawanan. Yes, that awkward moves.
Gerakan tersebut dipercaya dapat meningkatkan aliran darah membawa oksigen ke otak dan meningkatkan konsentrasi. Tak hanya itu, gerakan ini juga dianggap menguji seberapa tinggi intelegensi seseorang.
Kekhawatiran Ben Goldacre terhadap kebiasaan ini menitikberatkan pada para pendidik yang mengajarkan para murid tentang bagaimana sirkulasi darah di jantung dan paru-paru juga mengajarkan dan percaya bahwa gerakan senam otak akan meningkatkan sirkulasi ke frontal lobe di otak sehingga baik untuk kemampuan berpikir secara rasional. Parahnya, para pendidik ini percaya dengan efek senam otak tanpa mengkritisi dan mempertanyakan mekanismenya.
Ben Goldacre menganggap klaim dalam senam otak merupakan imajinasi berlebihan. Ben juga menyoroti klaim ‘menguap’ dengan sengaja akan meningkatkan proses oksidasi tubuh sehingga lebih relaks. Padahal, proses yang mereka klaim tersebut sebenarnya disebut oksigenasi. Sedangkan, oksidasi adalah proses yang dikenal memicu proses pengkaratan. Tentu kedua istilah tersebut memiliki makna yang jauh berbeda. Kalaupun benar yang dimaksud adalah oksigenasi, proses menguap yang dibuat-buat ini tidak perlu dilakukan dan berlebihan jika mampu membuat tubuh relaks segampang itu.
Kok bisa sih mitos seperti ini beredar dan dipercayai berbagai kalangan hingga pendidik? Menurut studi yang diterbitkan oleh Journal of Cognitive Neuroscience pada tahun 2018, isitlah sains yang fancy dan terdengar teknikal seperti “meningkatkan oksidasi” membutakan pendengar sehingga percaya begitu saja bahwa penjelasan tersebut berbasis ilmiah. Padahal tidak. Tak hanya itu, hasil penelitian juga menunjukkan orang-orang lebih gemar menilai penjelasan yang panjang dan rinci dan menganggap penjelasan itu datang dari seorang ahli. Padahal belum tentu.
Ben Goldacre tidak sepenuhnya keberatan dengan senam otak karena terlepas dari klaim berlebihan yang ada di dalamnya, aktivitas pada senam otak ini memicu aktivitas fisik ringan. Namun klaim berlebihan untuk memicu aktivitas otaklah yang menjadi permasalahannya.
Tak hanya senam otak, Ben Goldacre juga mangangkat isu terkait gaya hidup sehat secara umum dimana semua informasi bisa diakses gratis dan tersedia bebas di ruang publik. Semua orang paham bagaimana menjalani hidup sehat. Cukup melakukan personal branding, gunakan kata-kata yang terdengar rumit dan terlihat cerdas. Well , there you are, a sudden nutrisionist! Ben menganggap ini tidak berbahaya, tapi terlalu buang-buang uang. Terutama di era sulit ekonomi dan resesi yang menyerang berbagai negara. Agak sedikit tidak masuk akal ketika kita harus mengeluarkan uang demi mendapatkan saran menjalani hidup sehat dari mereka yang mengklaim dirinya sendiri seorang ahli yang sebenarnya toh informasi yang diberikan dapat dengan mudah dibaca di mana saja. Tentu berbeda lho ya kalau konsultasi ke ahli nutrisi profesional yang memang mendalami dan memiliki ijazah di bidangnya.
Kekhawatiran terhadap Pseudosains
Ben Goldacre khawatir pseudosains membuat orang-orang ketergantungan terhadap informasi dasar yang sebenarnya kita pahami, tapi diklaim secara berlebihan melewati batas wajar akal sehat. Semua orang paham bahwa tubuh perlu relaks dan melakukan gerakan ringan sesekali saat bekerja atau terlalu lama duduk. Semua orang tahu bahwa minum air putih penting untuk metabolisme tubuh. Kekhawtairan Ben adalah “kok bisa-bisanya tenaga pendidik dan mereka yang berpendidikan tinggi menyebarkan klaim berlelbihan pada pseudosains bahkan disampaikan di dalam kelas”.
Suatu hari Ben menerima email dari seorang siswa di salah satu sekolah di Amerika. Di salah satu bahan ajar, seorang guru menuliskan bahwa minum air putih akan sangat baik bila diminum sedikit-sedikit. Dari bahan ajar tersebut, si murid pun bertanya-tanya “Emang kenapa kalo minum air putih langsung banyak? Apakah air putih tersebut tidak mampu ditampung oleh tubuh dan bakalan bocor dari anus?”. A really well-criticized pseudoscience came from a student.
Well, that’s how pseudoscience work. A basic common sense that doesn’t make sense.