Penulis: Rolf Dobelli
Tanggal Rilis: 14 Mei 2013
Jumlah halaman: 384 halaman
Di buku ini, Rolf Dobelli menyajikan 99 contoh pemikiran bias kognitif atau kesalahan dalam berpikir yang seringkali mempengaruhi kita dalam mengambil keputusan. Dalam setiap bab, Rolf memberikan contoh akurat yang bisa diamati atau bahkan dialami sendiri. Tak hanya itu, Rolf juga memberikan simpulan dan take-home notes agar pembaca tidak mengulangi kesalahan dalam memandang dunia dan diharapkan dapat mengubah cara pembaca berpikir.
Di antara sekian banyak contoh bias kognitif yang disampaikan Rolf, beberapa diantaranya merupakan fenomena sosial yang sangat menarik dan kerap menjadi topik “keributan” di sosial media.
Contoh Kognitif Bias
Swimmer’s body illlusion
Seorang perenang nggak jadi perenang karena intensitas latihan, tapi karena fisik dia dilahirkan untuk jadi seorang perenang. I know, you guys optimists people might hate it when you read that sentence, but that is the ugly truth. Another example, kesan kita ketika melihat iklan kosmetik atau skin care mungkin dipengaruhi oleh keyakinan paras model iklan yang cantik pasca mengaplikasikan kosmetik atau percaya pasca model rutin memakai skin care tersebut. No, we are not. Obviously we know that the model is applied cosmetics heavily using the brand which is not the advertised product and we hardly know how routine she/he applied the skin care. So, the influence is not because of the product. That’s basically because the brand hired a beautiful model.
Another sample, kampus top di tiap negara atau take it globally, Ivy League. They are good not because they are actually good. But because the admission accepted top students from all over the country or globe. Universitas dengan peringkat yang lebih rendah mungkin memiliki silabus yang lebih bagus dan dosen yang lebih kreatif dan kompeten. But because the top universities have good and independent students since the beginning, then the student work it out and make the university become on top of the list.
Swimmer’s body illusion juga berlaku untuk bagaimana orang menghargai kebahagiaan. Ketika orang bahagia ditanya apa yang membuat mereka bahagia dalam hidup, kebanyakan mungkin akan menjawab “lihatlah gelas sebagai gelas yang setengah penuh, bukan gelas setengah kosong” alias keep looking something positively. Seolah mereka yang tidak bahagia tidak bisa bersyukur melihat kehidupan. Lykken dan Tellegen, dua orang ilmuwan sosial, menyatakan bahwa “trying to be happier is as futile as trying to be taller”. Melalui kutipan tersebut, Dobelli menekankan bahwa sebenernya para penulis buku self-help atau motivator itu berbahaya. Mereka menebarkan semangat optimis itu suatu kesia-siaan. Seolah orang yang terlahir dengan fisik perenang memberi semangat ke mereka yang emang punya fisik tidak untuk menjadi perenang. Atau model cantik rupawan memberi semangat bahwa semua orang bisa menjadi model untuk brand kosmetik terkenal ke mereka yang wajahnya biasa saja. Keberadaan motivator seolah menihilkan keberadaan orang-orang gagal atau tidak bahagia di luar sana yang tersembunyi dari publik.
Pandangan Rolf terhadap swimmer’s body illusion adalah berhati-hatilah ketika menerima nasihat dan encouragement, seperti penghasilan yang lebih tinggi, panjang umur, kebahagiaan, dan motivasi lainnya yang kerap diagungkan secara berlebihan. Bisa jadi kita masuk ke dalam jebakan swimmer’s body illussion oleh orang yang memang terlahir dengan privilege.
Clustering Illussion
Nah, ini nih fenomena yang cukup sering beredar di Indonesia. Fenomena cocoklogi. Awan yang berbentuk tulisan inilah. Daun telinga bayi yang baru lahir bertuliskan itulah. Fenomena ini sebenernya membuktikan bahwa otak kita bekerja secara normal: mencari-cari suatu pola dan aturan. Kalau otak kita gak menemukan polanya? They will try to find the patterns, no matter what. Otak kita emang naturally cocoklogi.
Seorang psikolog bernama Thomas Gilovich pernah melakukan penelitian dimana ia memberikan suatu deret “oxxxoxxxoxxoooxooxxoo”. Sebagian besar partisipan percaya bahwa deretan abjad itu memiliki pola. Namun, Gilovich menentang kepercayaan sebagian besar partisipan penelitian dan menyatakan bahwa deret huruf tersebut bisa saja didapatkan secara acak dengan metode melempar dadu.
Kesimpulannya adalah otak kita oversensitif saat mengenali pola. Maka, jadilah skeptis terlebih dahulu. Kalau ketemu suatu pola, yakini bahwa ada yang namanya kebetulan. Kalau kita merasa bahwa pola itu too good to be true, berkonsultasilah dengan ahli matematika atau ahli statistik. Rolf Dobelli menutup pembahasan cluster’s illusion dengan dengan contoh lucu “kalau kita menemukan pancake dengan wajah berbentuk Jesus, coba deh tanya ke diri sendiri, kalau emang Jesus mau menampakkan diri, kenapa dia nggak menampakkan diri di Times Square atau CNN aja sekalian?”
Social Proof (Herd Instinct)
Alias ikut-ikutan. Saat nonton konser, ketika ada satu yang tepuk tangan, semua ikutan. Ketika main saham, trus ada satu yang teriak dia beli satu emiten perusahaan, ada kecenderungan pemain lain pengen ikutan beli.
Fenomena ini sebenarnya intuisi manusia sebagai salah satu skill dalam bertahan hidup sejak jaman dahulu. Bayangin aja 50.000 tahun lalu sekelompok orang lagi melewati hutan, trus ada 1-2 orang yang lari. Emang kita masih sempat untuk cari tau ada apa di sekitar situ? Masih sempat buat konfirmasi itu orang lari ngeliat singa atau lebay aja? Mana sempat euy. Pasti kita secara refleks ikutan lari juga karena ikutan panik dan berusaha menyelamatkan diri. Setelah aman, baru deh kita penasaran itu yang di belakang singa atau bukan.
Emang intuisi manusia adalah intuisi followers dan terbawa sampai era modern seperti sekarang. Walaupun masalah bertahan hidup di hutan udah gak relate lagi.
Strategi social proof ini kebanyakan dipakai di acara komedi atau talk show yang biasanya di akhir adegan suka disisipkan editan rekaman suara ketawa, trus kita sebagai pentonton jadi ada tendensi ikutan ketawa juga.
Hikmah dari social proof yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari apa? Jangan beli produk hanya karena produknya “best seller”. Di mana logikanya suatu produk bekerja dengan baik hanya karena banyak yang beli? Rolf Dobelli mengingatkan pembacanya tentang kutipan dari seorang novelis, W. Sommerset Maugham: “Kalo ada 50 juta orang mengatakan suatu hal yang bodoh, hal itu tetaplah suatu kebodohan.”
Sunk Cost Fallacy
Alias ‘biaya’ yang harus diikhlaskan. Ada orang yang udah beli tiket konser mahal-mahal, trus pas nonton eh ternyata penampilan artis dan panggungnya jelek. Temennya ngajak pulang aja lah toh gak bisa menikmati konsernya. Lalu teman lainnya menjawab “Duh, sayang. Kan udah beli tiket mahal-mahal masa gak ditonton”.
Contoh lainnya banyak ditemukan di lingkungan pertemanan. Ada yang curhat, udah pacaran lama dan keluar uang banyak untuk beli ini-itu lalu setelah pacaran sekian lama ternyata pacarnya abusive. Pas temennya menasihari mereka supaya putus aja, eh disaut “sayang dong diputusin kan pacarannya udah lama”.
Sunk cost falllacy ini berbahaya banget buat orang yang udah menginvestaikan uang, energi, waktu, perasaan, dan lainnya. Semakin banyak yang kita investasikan, semakin besar sunk cost yang harus diikhlaskan, semakin besar juga keinginan untuk “hajar aja lah bray.”
Tentu ada alasan tertentu yang bikin sesuatu layak diteruskan, tapi tetep kudu inget bahwa pengambilan keputusan yang rasional perlu mengesampingkan seberapa banyak pengorbanan kita. Seberapa banyak pun yang udah diinvestaikan, yang menentukan keputusan diambil dengan benar adalah kebermanfaatan yang dirasakan di masa depan.
Reciprocity (Hal Timbal Balik)
Alias fenomena gak enakan mau nolak karena ngerasa punya “hutang”. Fenomena ini umumnya ditemukan dalam hidup bertetangga di Indonesia. Kita membantu tetangga dengan harapan suatu saat kalo kita mengalami kesusahan, tetangga akan membantu kita. Tentu ini bagus untuk aspek sosial, keberlangsungan hidup, bahkan dalam hubungan bilateral dan multilateral antar negara
Jeleknya dari hubungan timbal-balik ini adalah ketika kita mau gak mau melakukan atau menerima sesuatu yang sebenarnya gak dibutuhkan atau gak disukai. Misal, terpaksa menerima barang dari orang yang dulu pernah kita bantu. Padahal sebenernya gak butuh itu. Kan jadinya mubazir. Atau ketika mengajak tetangga main ke rumah untuk makan bareng, trus mereka balik ngajak ke rumah mereka karena udah kita ajak makan malam sebelumnya. Begituuuu seterusnya sampe countless dinner. Padahal sebenarnya kita atau tetangga sama-sama udah jenuh atau punya kesibukan lain selain spend some time to eat together.
Contrast Effect
Banyak nih ditemukan di marketplace atau online shop. Ketika kita lebih suka belanja di toko yang jual barang seharga 60 ribu bebas ongkir daripada di toko yang jualan dengan harga 50 ribu tapi dengan ongkir 10 ribu. Atau insting ekonomi kita lebih impulsif ketika ketemu barang dengan harga 50 ribu pasca didiskon 50% daripada barang yang emang aslinya seharga 50 ribu.
Rolf Dobelli percaya bahwa contrast effect bisa mengacaukan pandangan hidup kalau dilihat dari contoh seperti ini: ketika ada cewek cantik yang menikahi pria dengan wajah biasa saja. Tapi, orangtua cewek itu jahat, lalu kita langsung menghakimi dan merasa pria yang menikahi wanita ini seperti prince charming yang menyelamatkan wanita itu dari orangtua jahat.
Tapi, contrast effect ini bisa jadi strategi untuk cari jodoh. Kalo nongkrong atau berteman jangan sama yang lebih rupawan karena di mata orang lain kita akan kebanting dan dipandang memiliki rupa biasa aja. Jadi, kalo kira-kira mau kongkow dengan niat cari jodoh, minta temenin yang wajahnya lebih biasa aja lol.
Availability Bias
Alias menasehati orang pake fenomena yang paling akrab dengan diri kita.
“Ngerokok tuh gak bikin kamu cepet meninggal. Buktinya kakek aku perokok udah 90 taun tuh masih sehat-sehat aja”
Atau dokter yang udah punya preferensi terapi atau obat tertentu lalu ketika dapet pasien dengan kasus yang baru dia temukan, alih-alih berpikir lebih keras dan mencari pilihan obat baru, kemungkinan besar dokter tersebut akan menawarkan pengobatan yang udah biasa dia kasi ke pasien lain.
Fenomena bias kognitif yang menyempitkan pandangan hidup. Take-home notes dari availability bias: main rada jauhan dikit, sis. Bergaul sama orang yang punya pengalaman hidup dan wawasan yang beda. Jadi gak itu-itu aja yang bisa dipetik dalam kehidupan ini.
Story Bias
Banyak terjadi di media Indonesia, terutama media online dan dunia pergosipan.
Sering kan kita baca berita yang intinya insiden kriminal atau korupsi atau apalah itu. Lalu, media banyak memberitakan bahwa di balik itu si pelaku ternyata suka menolong, atau punya istri yang solehah, atau punya anak yang cantik. Media menarik pembaca berita dengan menonjolkan cerita di sekitar suatu insiden.
Ketika ketemu fenomena seperti ini, segera tanya ke diri sendiri: kenapa cerita ini perlu disajikan untuk mendukung suatu kejadian? Perlukan cerita itu untuk bahan pemahaman kita kenapa suatu bisa terjadi? Atau malah membuat kita kehilangan fokus dari apa yang sebenarnya terjadi?
Illusion of Control
Keyakinan seolah manusia punya kendali lebih banyak daripada yang sebenernya.
Contohnya ketika mau ujian trus dosen memberikan lima pilihan tipe soal dengan tingkat kesulitan berbeda dan ditentukan dengan undian. Teman kita membantu mengambilkan undian dan ternyata ia memilihkan soal dengan tipe yang sulit. Lalu kita ngomel “ih kenapa diambilin? Kan aku mau ambil sendiri.” Seolah olah percaya bahwa kalo mengambil undian sendiri maka kita akan mengambil soal dengan tingkat kesulitan paling mudah.
Trik ini sebenernya banyak dipake di beberapa fasilitas publik. Misal, tombol buka-tutup pintu lift yang usut punya usut ada beberapa yang gak berfungsi tapi tombol itu dipasang oleh pengelola gedung seolah penghuni gedung punya kendali terhadap buka-tutup pintu lift. Akibatnya? Tentu mengurangi komplain “kok pintu liftnya buka/tutup lama banget sih. Tolong dicepetin dong.”
Intinya, dude, kita gak punya banyak kendali terhadap hidup ini. It is what it is.
Outcome BIas
Artinya kepercayaan kita dalam menghakimi sesuatu dilihat dari hasil, bukan dari prosesnya.
Rolf Dobelli memberikan contoh fenomena ini pada penelitian kera untuk berinvestasi di pasar saham. Kera-kera ini diminta untuk melakukan transaksi jual-beli saham. Tentu saja prosesnya berjalan secara acak dan chaos. Setelah pengamatan selama berminggu-minggu, ditemukan seekor kera diantaranya menginvestasikan sahamnya dengan baik. Udah kebayang dong reaksi media kayak gimana dalam menyikapi keberhasilan kera dalam bernvestasi saham? Mereka bakal mengira-ngira keranya makan pisang jenis apa, sehari makan pisang seberapa banyak, atau apakah keranya berayun di batang pohon yang beda dari temen-temen kera lainnya.
Ilustrasi ini merupakan contoh di mana manusia cenderung melihat suatu keputusan berdasarkan hasil akhirnya.
Contoh lainnya adalah pada dokter bedah A, B, dan C. Di antara lima operasi bedah, dokter A gagal menyelamatkan pasiennya 3 kali, dokter B gagal 2 kali, dan dokter C tidak pernah gagal sama sekali. Kalo dilihat dari kalimat sederhana tersebut, kita beranggapan bahwa dokter C merupakan dokter bedah terbaik dan dokter A merupakan dokter bedah yang paling tidak kompeten. Well, kalo kita berpikiran demikian: selamat datang! Anda baru saja masuk dalam jurang outcome bias.
Padahal kita baru bisa menghakimi mereka kalo kita benar-benar paham bidang ilmu mereka, bagaimana operasi bedah tersebut dipersiapkan, lalu eksekusi operasinya bagaimana, dan seterusnya. Dengan demikian, kita menghakimi prosesnya, bukan menghakimi seberapa banyak kegagalan dokter A, B, atau C.
Hikmahnya?
1. Jangan pernah menghakimi hasil, terutama ketika melibatkan banyak faktor eksternal.
2. Daripada menyesali suatu keputusan yang salah atau keburu jumawa ketika (kebetulan aja) berhasil, mending inget-inget deh kenapa dulu mengambil keputusan itu? Alasannya rasional gak? Kalo emang alasannya rasional, maka ketika kita mengulang pengambilan keputusan itu di masa depan, kita tetap memberikan hasil yang terbaik tanpa bergantung kepada ‘kebetulan’ atau ‘keberuntungan’.
The Paradox of Choice
Ketika terlalu banyak pilihan yang ditawarkan trus ujung-ujungnya gak milih apa-apa atau malah yang dipilih sebenernya tidak sesuai harapan.
Barry Schwartz, seorang psikolog, melakukan eksperimen di supermarket. Pada hari pertama, pelanggan diberikan kesempatan untuk mencoba 24 jenis jelly. Mereka boleh mencoba sebanyak mungkin dan bisa dibeli dengan harga diskon. Keesokan harinya, supermarket hanya memberikan pilihan jeli dengan 6 rasa yang berbeda. Hasilnya, penjualan jelly tersebut meningkat sepuluh kali lipat. Penyebab di balik kejadian ini adalah semakin banyak pilihan, pelanggan malah tidak bisa membuat keputusan dan berakhir dengan tidak membeli apa-apa.
Semakin banyak pilihan dapat berujung pengambilan keputusan yang buruk. Contohnya adalah dalam memilih jodoh. Banyak orang yang menetapkan kriteria jodoh yang dia mau: rupawan, cerdas, humoris, dan kriteria idaman lainnya. Lalu apakah kriteria ini benar-benar mereka jadikan acuan di kehidupan yang sebenarnya? Kita semua tentu tahu jawabannya dari pengamatan sekitar: belum tentu. Di masa kakek-nenek kita dulu, mereka hanya mengenal mungkin 20an tetangga atau teman sekolah yang mereka kenal dengan baik keluarganya dan latar belakang kehidupannya. Sekarang? Jutaan pilihan tersebar di luar sana hingga via online, baik sosial media maupun online dating seperti tinder. Pilihan yang diajukan kepada generasi masa kini tak hanya dari dunia nyata. Konsekuensinya adalah otak kita akan mereduksi kriteria dalam memilih jodoh: ketertarikan fisik. Terlalu banyak pilihan yang ditawarkan, semakin besar kemungkinan kita tidak puas dengan pilihan yang kita pilih.
Kita gak bisa mengendalikan banyaknya pilihan yang ada di luar sana. Maka hal yang bisa kita kontrol adalah: pikirkan dengan baik apa yang benar-benar kita mau sebelum menghakimi pilihan yang ada di luar sana. Stick to your criteria, sadari tidak ada pilihan yang sempurna, dan cintai apa yang udah dipilih.
Base-rate neglect
Kekeliruan kita menghakimi atau menilai sesuatu karena mengabaikan suatu probabilitas. Rolf Dobelli memberikan contoh kasus di Amerika, ada seorang laki-laki ditusuk dan terluka parah. Ketika responden ditanya kemungkinan pelakunya antara a. imigran Rusia yang mengimpor senjata tajam secara ilegal atau b. orang Amerika biasa dari kelas menengah, sebagian besar menjawab pilihan a. Padahal bisa aja pelakunya b karena di tempat kejadian ada satu juta orang Amerika dari kalangan menengah lebih banyak daripada importir senjata ilegal dari Rusia.
Profesi yang menggunakan base-rate neglect dengan baik adalah dokter. Dokter sering dikunjungi pasien dengan keluhan sakit kepala. Sakit kepala bisa dipicu oleh banyak kemungkinan, dari infeksi virus sampai tumor otak. Tapi kan jumlah kejadian tumor otak lebih kecil daripada infeksi virus, maka dokter akan meng-assess pasien dengan diagnosis infeksi virus terlebih dahulu sebelum mengarah ke tumor otak.
Masih banyak profesi atau pekerjaan yang mengabaikan pentingnya base-rate neglect. Ketika kita ingin membangun start-up dan partner memberikan ide cemerlangnya, mungkin kita akan cepat merasa “wah aku dan temenku bakal sukses nih. Bisa jadi the next Bill Gates atau the next Zuckerberg.” Kita lupa bahwa hanya 20% kemungkinan suatu perusahaan bisa bertahan hingga lima tahun. Trus kemungkinan perusahaan bakal jadi kayak Windows atau Facebook? Tentu persentasenya jauh lebih kecil (doesn’t mean to belittle your spirit but that’s the statistic).
Base-rate neglect inilah yang seringkali membuat kita hanya fokus melihat orang kaya yang berhasil bangkit dari kemiskinan lantas percaya doa dan perjuangan tak pernah mengkhianati. Kita lupa bahwa ada jauh lebih banyak orang miskin yang tak henti berdoa dan berjuang jauh lebih keras, tapi tetap terjebak dalam jerat kemiskinan.
Fundamental Attribution Error
Melebih-lebihkan pengaruh individu terhadap suatu peristiwa dan mengabaikan faktor situasional.
Untuk yang suka olahraga pasti sering deh melihat berita yang menyalahkan pelatih atau performa seseorang di tim sebagai faktor utama kekalahan atau kemunduran suatu tim. Bagi yang suka sejarah, pasti sering baca buku atau ulasan yang menyalahkan sosok seseorang atas pecahnya suatu perang atau malah perdamaian antar negara. Pengamat ekonomi dan bisnis pasti suka menilai performa seorang direktur dan menjadikan satu sosok sebagai penyebab kenapa perusahaan itu berkinerja baik atau buruk.
Hal-hal tersebut merupakan contoh fundamental attribution error. Kita melupakan bahwa sosok yang kita sorot bekerja dalam suatu kelompok dengan berdasarkan suatu sistem.
Fundamental Atribution Error mengingatkan kita bahwa sekagum-kagumnya kita terhadap seseorang, orang itu gak sempurna. Jika dilihat dari sudut pandang lain: sebenci-bencinya kita dengan seseorang menjalankan suatu sistem, dia gak kerja sendirian. Baik yang kita kagumi maupun yang kita benci, mereka terbentur dengan berbagai situasi. Kalau mau benar-benar memahami situasi, lupakan “siapa” dan perhatikan faktor “apa” yang mempengaruhi orang tersebut.
Not-invented-here Syndrome
Sindrom kecintaan kita terhadap ide sendiri. Waktu sekolah atau kuliah, kita pasti pernah ditugaskan untuk mencari ide atau inovasi. Setelah presentasi dan sebagainya, kita merasa apa yang kita temukan tuh baguuus banget dan merasa ide orang biasa aja.
Rolf Dobelli mengalami not-here-invented syndrome ketika dia berinovasi di dapur. Ia berkreasi membuat saus dan merasa saus yang dia masak enak. Dua minggu kemudian, istrinya memasak dan menawarkan Rolf dua pilihan saus yang istrinya klaim berasal dari chef Prancis terkenal. Saat Rolf cicipi, ia merasakan salah satu saus rasanya gak enak banget. Kemudian, istrinya mengaku bahwa saus yang gak enak itu sebenernya saus inovasi Rolf. He got caught.
Dalam skala besar, not-invented-here syndrome ini memberikan konsekuensi yang cukup serius. Seringkali kita terlalu cepat menghakimi suatu ide hanya karena ide tersebut berasal dari budaya yang lain atau malah dikatain antek asing lol.
Kita terlalu cepat mabuk dengan ide sendiri. Narsis.
Simpulan
Sebagai penutup, Rolf Dobelli menekankan bahwa:
- kita gak bener-bener tau apa yang membuat kita bahagia. Human have no idea. Kita gak tau aspek apa dalam hidup kita yang membuat kita seperti sekarang. Tapi kita tau apa yang membuat kita gak bahagia atau gak suskes. Kesadaran akan hal negatif (apa yang gak boleh dilakukan) penting dan jauh lebih poten daripada hal positif (apa yang harus dilakukan).
- Bedakan kapan harus mengajak otak berpikir rasional dan kapan harus mengistirahatkan otak dan membiarkan intuisi kita yang mengambil alih.
Kritik
Bagi pembaca yang sebelumnya pernah membaca Thinking Fast and Slow (Daniel Kahneman), Predictably Irrational (Dan Ariely), Everything (Steven Pinker), Fooled by Randomness and The Black Swan (Nassim Taleb), maka banyak tulisan dalam buku ini akan terasa akrab dan seperti pengulangan. Dalam buku ini, Rolf juga kerap memberikan contoh yang diambil dari buku lain dan mengubah karakter serta sedikit parafrase. Tak heran banyak pembaca yang telah mengulas buku ini mengkritik Rolf Dobelli telah melakukan plagiarisme.
Walaupun demikian, Rolf Dobelli meringkas setiap bias kognitif dalam ~1,5 halaman dengan sangat baik dan menjelaskannya secara lugas sehingga dapat dipahami oleh pembaca dari berbagai kalangan.